memory of alfa

memory of alfa

Saturday, March 29, 2014

Metode Ilmu Tafsir Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Bekakang
Al Qur’an yang dalam memori kolektif umat Islam sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Sedemikian penting perannya sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia “hudan linnas” maka setiap kita dituntut untuk selalu berpedoman padanya di manapun dan kapanpun.
Mengarah kepada pamahaman nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an, itu membutuhkan ilmu yang mendalam yang dikenal dengan “ilmu tafsir”. Karena dalam ilmu tersebut dijelaskan syarat dan tata cara ataupun metode penafsiran Al-Qur’an yang dibenarkan. Tentunya yangbertujuan untuk memahami dan mendalami isi pokok kandungan yang banyak sekali terkandung di dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, kami dari kelompok I akan mencoba mengurai materi yang berjudul: “ILMU TAFSIR AL-QUR’AN”.

B.       Rumusan Masalah
1.        Apakah yang dimaksud dengan ilmu tafsir itu?
2.        Bagaiman sejarah dan perkembangan ilmu tafsir?
3.        Apa saja yang menjadi syarat-syarat seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an?
4.        Metode apa saja yang digunakan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an?



BAB II
PEMBAHASAN
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN

A.      Pengertian Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Secara bahas tafsir berasla dari kata “al-fasru” yaitu menyingkap sesuatu yang ditutup. Dan secara istilah tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an. [1]
Sedangkan ilmu tafsir Al-Qur’ân adalah ilmu yang membahas tentang teknik atau cara penafsiran Al-Qur’ân berikut hal-hal yang berkaitan dengannya.[2]
Ilmu tafsir merupakan kunci utama untuk bisa memahami Al-Qur’ân dengan benar dan baik. Karena tanpa ilmu tafsir, pemahaman makna tekstualitas dan kontekstualitas Al-Qur’ân tidak mungkin bisa dikembangkan, dan sosialisasi publikasi pengamalan Al-Qur’ân tidak akan berjalan lancar. Jadi, ilmu tafsir memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis dalam upaya memahami Al-Qur’ân yang dengan itu terciptalam masyarakat yang ideal sesuai dengan petunjuk Al-Qur’ân.[3]

B.       Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Tafsir Al-Qur’ân
Muhammad Husayn al-Dzahabi memilah sejarah tafsir kedalam tiga periode, yaitu:[4]
1.      Periode Nabi Muhammad Saw
Tugas-tugas penyampaian (tabligh), penghafalan (tahfidz), pembacaan (tilawah) dan penafsiran Al-Qur’an yang ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. itu dapat kita lihat dari ayat berikut:
$pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$#
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 67).
Jelas bahwa ayat di atas memerintahkan Nabi Muhammad Saw. supaya menyampaikan, membaca, menghapal, dan menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah melaksanakan tugas-tugas Allah tersebut dengan prima dan berhasil, baik sebagai pembaca dan penghapal Al-Qur’an maupun sebagai penyampai risalah dan penjelas Al-Qur’an. Lebih dari itu, beliau juga menyelesaikan seluruh tugas sucinya uuntuk mengamalkan dan mempraktekkan ajaran-ajran Al-Qur’an selama kurang lebih 23 tahun (610-632 M).
2.      Periode Mutaqaddimin
Periode ini meliputi masa sahababt, tabi’in dan tabi’ al tabi’in. Dari kalangan sahabat setidaknya terdapat sekitar sepluluh orang mufassir yang sangat terkenal, yaitu: Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’un, Zaid bin Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Abbas.
Dari kalangan al-khulafa’ ar-rasyidin, Ali bin Abi Thalib lah yang dikenal paling banyak menafsirkan AlQur’an, sedangkan tiga yang lainnya terutama Abu Bakar, selain Umar dan Utsaman relatif tidak banyak terlibat secara aktif dalam kegiatan penafsiran Al-Qur’an. Ketidak aktifan mereka terjadi karena Utsman, Umar, dan Abu Bakar yang secara berturut-turut terlibat langsung dengan kegiatan dunia politik praktis sehubungan dengan jabatannya sebagai kapala negara. Sedangkan faktor yang menyebabkan Ali bin Abi Thalib lebih banyak melakukan penafsiran Al-Qur’an dibandingkan tiga khalifah lainnya adalah karena Ali telah memeluk Islam sejak masa kanak-kanak. Jadi, berbeda dengan ketiga sahabat lainnya, terutama Abu Bakar yang memeluk Islam setelah usia dewasa, bahkan usia yang relatif tua.
Tidak sama dengan para kalifah di atas yang sebagian besar waktunya habis tersita untuk pelayanan masyarakat, para sahabat lain yang termasuk dalam sepuluh mufasir awal  itu, terutama Ibn Abbas yang  mendapat gelar tarjuman Al-Qur’an (juru bicara Al-Qur’an), habar al-ummat (sumber ilmu umat), syaikh al-mufassirin (guru besar mufassira), dan pernah mendapat do’a khusus dari Rasulullah Saw. dalam hal penakwilan Al-Qur’an, memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegitan penafsiran Al-Qur’an. Namun, bukan berarti bahwa sahabat lainnya di luar Ibn Abbas tidak memeiliki andil besar bagi pengembangan penafsiran Al-Qur’an. Para besar lainnya, terutama Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair juga banyak terlibat akktif dengan aktivitas penafsiran Al-Qur’an.
Seiring sejalan dengan aktivitas mereka, para sahhabat lainnya pun turut serta dalam upaya pengembangan penafsiran Al-Qur’an, antara lain, Anas bin Malaik, Abu Hurairah, Abdullah bin  Umar, termasuk Aisyah r.a. Sayangnya dibandingkan dengan sahabat yang sudah kami sebutkan di awal, para sahabat yang disebutkan terakhir tidak berkonsentrasi secara penuh kepada penafsiran Al-Qur’an karena keahlian sahabat tersebut kebanyakan bukan ahli tadsir. Misalnya Abu Hurairah, lebih populer dibidang hadits, sednagkan Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Ubaidillah Amr bin al-Ash lebih menonjol dalam bidang ilmu fikih. Begitupun, Aisyah ra. lebih akrab dengan dunia hukum halal-haram (fikih) khusunya ilmu dalam bidang faraid (warisan).
Berbeda dengan masa sahabat di atas, pada masa generasi sahabat kecil dan tabi’tabi’in, tokoh-tokoh Islam tersebar luas diberbagai kota Islam. Disetiap kota Islam terkemuka seperti Madinah, Makkah, Kuffah dan Irak terdapat sejumlah mufassir ternama.
Sesudah generasi tabi’in, tafir Al-Qur’an dikembangkan oleh generasi tabi’ at-tabi’in yang oleh Ahmad Musthhafa al-Maraghi disebut sebagai periode penghimpun tafsir sahabat dan tabi,in.
3.      Periode Muta’akhkhirin
Ekspansi Islam yang dilakukan secara agresif dan mobilitas yang sangat tinggi ke berbagai daerah jazirah Arab dan luar Arab pada masa-masa tabi.in dan tabi’ at tabi’in, semakin memperluas dan mengembangkan wilayah Islam. Perluawasan agama dan pergaulan umat Islam dengan dunia luar pun turut mempengaruhi kompleksitas permaslahan yang dihadapi oleh umat Islam. Apalagi, banayak juga di antara mereka yang kemudian memeluk Islam.
Seiring dengan semakin luasnya daerah yang dikuasai oleh Islam dan penyebaran Islam pun dilakukan ke selururuh daerah wilayah di berbagai penjuru benua, perbedaan kebudayaan Islam pun semakin mengalami kemajuan, termasuk ilmu tafsir. Dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an, para ahli tafsir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau hanya menghafal riwayat dari sahabat, tabi’in, dan tabi’ at tabi’in seperti yang diwariskan selama ini, tetapi mereka mulai berorientasi pada penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmu bahasa dan penelaran ilmiah. Dalam kalaimat lain, tafsir Al-Qur’an pada periode ini tidak hanaya mengandalkan kekeuatan tafsir bil matsur yang telah lama mereka warisi, tetapi juga berupaya keras mengembangkan tafsir bi al dirayah dengan segala macam implikasinya. Karena itu, tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan sedemikian rupa dengan penitik beratan pada pembahasan aspek-aspek tertentu sesuai dengan tendensi dan kecendrungan kelompok mufassir itu sendiri.

4.      Periode Kontemporer
Periode dimulai dari akhir abad 19 hingga saat ini. Sudah sekian lama pemeluk agama Islam mengalamai penindasan dan penjajahan oleh bangsa barat yang notabene adalah kaum imperelaise kolonis. Kini, sebagain negara, baik di benua Asia maupun  Afrika, yang berpenduduk mayoritas muslim mulai bangkit dari keterpurukan dan penderitaan mental.
Untuk menghadapi kebobrokan mental itu, berbagai tokoh dan pejuang muslim berupaya keras untuk melakukan perbaikan, kemudian munculah tokoh-tokoh Islam semisal Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897 M), Syekh Muhammad Abduh (1894-1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M). Ketiga tokoh tersebut menjadi penggerak perubahan dan gerakan pefifikasi terhadap nilai-nilai Islam di Mesir. Dua orang yang disebutkan terakhir, berhasilkan melahirkan tafsir Al-Qur’an yang hingga saat ini disegani, yakni Tafsir al-Manar. Kesungguhan tafsir ini diakui oleh banyak orang dan memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu tafsir, baik bagi kitab tafsir Al-Qur’an yang semasanya maupun kitab tafsir yang terbit pada masa-masa sesudahnya.
Sedangkan ulama tafsir yang ada di Indonesia diantaranya adalah Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981 M). Yang berhasil melahirkan Tafsir al-Azhar, Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddiqiey (1904-1975 M) dengan karyanya Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan, Prof. Dr. Mahmud Yunus (1899-1982 M), dan saat ini kita mamsih memiliki seorang penafsir kontemporer yakni Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Pemikiran beliau bisa ditelusiri lewat karyanya yang sangat familiar yakni Tafsir al-Misbah.[5]

C.      Syarat-syarat Mufassir Al-Qur’an
Terkait dengan penafsiran Al-Quran, untuk dapat menafsirkan Al-Quran, setiap mufassir dituntut untuk membekali diri dengan sejumlah cabang ilmu, sedikitnya ada cabang ilmu, yaitu: bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu tashrif, ilmu isytiqaq (morfologi), ilmu ma’ani, ilmu badi’, ilmu al-bayan, ilmu qira’at, ilmu ushul ad-din (kalam atau teologi), ilmu ushul fiqh, ilmu asbab an-nuzul dan al-qashasash, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu fiqh, hadits an-nabawi, ilmu mauhibah.[6]
Berkaitan dengan ilmu yang juga mutlak dimiliki oleh seorang mufassir, Syekh Muhammad Rasyid Ridha meringkasnya sebagai berikut:
1.         Memahami hakikat lafal-lafal kosakata (mufradat).
2.         Memahami gaya bahasa (asalih) Al-Quran.
3.         Mengetahui berbagai keadaan masyarakat (ilmu ahwal al-basyar) darai generasi ke generasi, termasuk ilmu sejarah.
4.         Mengenali secara persis kearah mana mufassir hendak membawa masyarakat dengan Al-Quran itu.
5.         Mengausai sejarah nabi dan sahabatnya, berikut teori atau konsep dan praktek yang mereka terapkan tentang pengaturan kehidupan yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
Asy-Syatibi, berkesimpulan bahwa Al-Quran itu diturunkan dengan bahasa Arab. Untuk itu, pemahaman (penafsiran) harus memperhatikan sisi kebahasaan yang spesifik ini sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat Yusuf ayat 2:[7]
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès?
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

D.      Metode Tafsir Al-Qur’an
Kata metode berasal dari bahas Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. [8]
Pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikirian maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah diteteapkan. Dalam hal ini, maka studi tafsir Al-Qur’an tidak terlepas dari metode.
Jika kita telusuri perkembangan studi tafsir Al-Qur’an dari dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa terdapat empat metode yaitu:
1.         Metode Ijmali
Metode ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an dengan secara singkat dan global, tanpa urain yang panjang dan lebar.[9]
Apapun bentuk suatu metode, ia tetap merupakn buah hasil tangan manusia, yakni tidak terlepas dari yang nama kekurangan dan kelebihan. Maka adapau kelebihan dan kekurangan metode ini adalah sebagai berikut:
a.         Kelebihan metode ijmali
1)        Praktis dan mudah dipahami
2)        Bebas dari penafsiran israiliat
3)        Akrab dengan bahasa Al-Qur’an
b.        Kekurangan metode ijmali
1)        Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial
2)        Tak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Contoh Metode Ijmamli, diantaranya adalah pada potongan surah al-Baqarah berikut:
($O!9# ) اللهُ أعلم بمراده بذالك (y7Ï9ºsŒ ) أى هذا (Ü=»tGÅ6ø9$# ) الذى يقرؤه محمد (Ÿw |=÷ƒu ) شكَّ      (¡ ÏmÏù )¡ أنّه من عندالله وجملة النّفي خبر مبتدؤه ذالك والإشارة به للتّعظيم (Wèd ) خبرثان أى هادٍ (z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ) الصّائرين إلى التّقوى بامتثال الأوامروجتناب النّواهى لاتّقائهم بذالك النّارَ.
Penafsiran yang diberikan oleh Al-Jalalain terhadap dua ayat pertama dari al-Baqarah di atas tampak kepada kita sangat singkat dan global  sehingga tidak ditemui rinncian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang ( الم ) misalnya dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian pula ( الكاب ) hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehngga penafsiran ayat diatas hanaya beberapa baris saja.[10]
2.         Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir tahlili adalah upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf Usmani.[11]
Dari bentuknya maetode tafsir tahlili dibagi kedalam dua pembagaian, yaitu:[12]
a.         Tafsir bil mat’sur, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah, Al-Qur’an dengan pendapat sahabat Nabi Saw, dan Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, contoh kitab-kitab tafsir bil matsur antara lain: Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (30 juz) karya Ibn Jarir at-Thabrani (w. 310 H).
b.        Tafsir bir ra’yi,yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan cara ijtihad terutama setelah  seorang mufassir itu betul-brtul mengetahui prihal bahasa Arab, asbab an-nuzul, nasikh dan mansukh, dan hal-hal lain yang lazim diperlukan oleh seorang mufassir. Di antara contoh kitab-kitab tafsir bir ra’yi adalah Mafatih al-Ghaib oleh Fakhr ar-Razi (w. 691 H), tafsir al-Maraghi (10 jilid), tafsir Thabari (15 jilid).
Contoh penafsiran dengan metode tahlili bir’ ra’yi, firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 115:
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
)>̍øópRùQ$#ur-̍ô±pRùQ$#!ur (Maksudnya timur dan barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, Dia yang memiliki dan mengausainya ( (#q9uqè?$yJuZ÷ƒr'sù) maka kearah manapun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah Swt.
فول وجهك شطر المسجد الحرام حيثما كنتم فولو وجوهكم شطره niscaya (di sana ada Allah), artinya di tempat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya [kamu] untuk menghadap-Nya [di situ].
Maksud dari ayat ini adalah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjid Haram Masjid Baitul Maqdis, maka janganlah hawatir sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Artinya Dia ingin memberikan kelongggaran dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya.
Ada yang berpendapat kebolehan menghadap kearah mana saja itu adalah adalam berdo’a, bukan dalam shalat.
Al-Hasan membaca ayat tersebut ( (#q9uqè?$yJuZ÷ƒr'sù) dengan memberi harakat fathah pada hurup “تَ” sehingga bacaannya menjadi" #q9uq?"  karena menurutnya kata tersebut berasal dari  (تَوَلِّى)yang berarti “ke arah mana saja kamu menghadap kiblat”.[13]
Kelebihan dan kekuranga metode tafsir tahlili antara lain adalah sebagai berikut:[14]
a.         Kelebihan metode tafsir tahlili, pertama: ruang lingkup yang cukup luas, penfasiran dapat menggunakan bil mat’aut ataupun ra’yi. Kedua memuat berbagai ide, dengan metode ini mufassir diberi kesempatan untuk menuangkan berbagai macam idenya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.        Kekurangannya, pertama, Menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial. Sehingga terasa seakan-akan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak komprehensip dan tidak konsisten karena menafsirkan yang ddiberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Kedua,menghasilkan penafsiran yang subyektif. Karena metode ini telah memberikan peuang yng cukup luas kepada para mufassir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga kadang-kadang mufassir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan Al-Qur’an secara subyektif. Ketiga, masuknya pemikiran isra’iliyat.
3.         Metode Tafsir Muqaran
Metode tafsir muqaran adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang selintas tampak berlawanan dengan Hadits padahal sebenarnya sama sekali tidak bertentangan.[15]
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini:
y]s3yJsù uŽöxî 7Ïèt/ tA$s)sù àMÜymr& $yJÎ/ öNs9 ñÝÏtéB ¾ÏmÎ/ šçGø¤Å_ur `ÏB ¥*t7y :*t6t^Î/ AûüÉ)tƒ ,   ÎoTÎ) Ny`ur Zor&tøB$# öNßgà6Î=ôJs? ôMuŠÏ?ré&ur `ÏB Èe@à2 &äóÓx« $olm;ur î¸ötã ÒOŠÏàtã (النمل : ٢٢–٢٣)
ôs)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×ptƒ#uä ( Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJtƒ 5A$yJÏ©ur ( (#qè=ä. `ÏB É-øÍh öNä3În/u (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4 ×ot$ù#t/ ×pt6ÍhsÛ ;>uur Öqàÿxî ( السبأ : ١٥ )
مَا أَفْلَحَ قَومٌ وَلَّوْا أمَرهُم امرأةً (رواه البخارى)
a.         Al-Qur’an
1)      “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (QS. An-Naml: 22-23)
2)      “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba: 15)
b.         Hadis
“Tak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyyerahkan semua urusan mereka kepada wanita (HR. Bukhari)


c.         Perbandingan antara ayat dengan hadits
Secara sepintas, kedua kedua teks ini tampak kontradiktif, karena Al-Qur’an mengimpormasikan tentang keberhasilan seorang wanita yakni Ratu Balqis dalam memimpin negrinya. Sebaliknya, di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari itu dinyatakan, bahwa tidak akan sukses suatu bangsa jika yang memimpin mereka adalah wanita.
d.        Perbandingan antara berbagai pendapat mufassir
Disinilah metode komparatif (muqaran) memiliki peranan yang sangat penting. Untuk mengkompromikan kedua dalil di atas, yang pertama sekakli dikaji secara kritis dan seksama ialah hadits, sebab keautentikan Al-Qur’an sudah diyakini sepenuhnya (tidak diragukan lagi), sementara hadits masih perlu di kaji dan diteliti, baik sanad maupun matannya, supaya didapatkan keyakinan yang penuh tentang keshahihannya. Selain itu diperhatikan pula sebab munculnya haditts tersebut.
Hadits di atas, menurut Mushttafa al-Siba’i, diucapkan nabi ketika beliau mendapat informasi bahwa putri Raja Persia telah dinobatkan menjadi ratu untuk menggantikan ayahnya yang telah mangkat.
Untuk lebih memperjelasnya, kita jangan terlalu terpengaruh kepada asbab al-wurud hadits tersebut karena yang dijadikan tolak ukur dalam mengambil keputusan (istinbath al-hukm) menurut mayoritas para ulama ialah umum lafal, bukan khusus sebab.[16]
Berangkat dari kaidah di atas, kita dapat berkata, meskipun latar belakang hadits itu muncul dari kasus naiknya wanita jadikepala negara Persia, lafal yang dipakainya umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala negara. Kata (قَومٌ)  dan (امرأةً) dalam hadits tersebut, misalnya adalah lafal nakirah (indefinite). Itu berarti, lafal “kaum” dan “wanita” tersebut berkonotasi umum yaitu kaum dan wanita mana saja, tidak tertentu hanya untuk orang Persia. Demikian pula kata “amarahum” juga berkonotasi umum, tidak khusus tentang urusan pemerintahan , tapi mencakup semua urusan yang berhubungan dengan bangsa atau orang yang dipimpin. Keumuman itu tampak dari pemakaian lafal tunggal (mufrad) “أمَر” yang diidhafahkan ke lafal هم"”. Menurut kaidah ushul fiqh, kata tunggal bila diidahafahkan kepada isim ma’rifat, maka ia mengandung konotasi umum.
Dengan demikian yang dimaksud Nabi pada hadits tersebut: “Suatu bangsa tak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan [sepenuhnya kepada kebijakan] wanita sendiri [tanpa melibatkan kaum pria]. Ialah jika semua urusan pemerintahan itu ditangani oleh wanita sendiri, sehingga semua bidang atau bgian di dalamnya diurus oleh wanita dan tidak ada laki-laki yang diikutsertakan dalam semua urusan tersebut, mulai dari jabatan tertinggi ssampai terendah bahkan ssatpam dan tukang ssapu ditangani oleh wanita sendiri. Jika demikian keadaannya, maka masuk akal sekali jika mereka tidak akan beruntung karena mereka memiliki keterbatan-keterbatasan manusiawi. Bik secara fisik maupin psikis.
Dengan menggunakan metode perbandingan, maka akan diketahui makna yang dikandung oleh oleh teks tersebut dan terhindar dari pemahaman yang kontradiktif.[17]
Adapaun yang menjadi kelebihan dan kekurangan metode taffsir ini adalah
a.         Kelebihan
1)        Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode lainnya.
2)        Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustail terdapat kontardiktif.
3)        Mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
b.         Kekurangan
1)        Metode ini tidak baik untuk para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menenggah ke bawah.
2)        Metode ini kurang dapat diandalkan dalam pemecahan masalah sosial yang tumbuh ditengah masyarakat.
3)        Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.
4.         Metode Tematik (Maudhu’i)
Metode tematik atau maudu’i adalah metode tafsir yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.[18]
Sedangkan menurut Ibn Taimiyah, tafsir maudhu’i adalah suatu ilmu yang belum diketahui sebelumnya, kecuali zaman sekarang. Menurut sebagian ulama, bahwa tafsir maudhu’i ialah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan satu tema tertentu kemudian menafsirkannya sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran dean tujuan-tujuan Al-Qur’an.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa tafsir maudhu’i lebih menonjolkan tema, judul, atau topik pembahasan sehingga ada yang menyebutnya sebagai metode tofikal. [19]
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut berkenaan dengan ayat-ayat tentang prnciptaan manusia
öNÍkÉJøÿtFó$$sù ôMèdr& x©r& $¸)ù=yz Pr& ô`¨B !$uZø)n=yz 4 $¯RÎ) Nßg»oYø)n=s{ `ÏiB &ûüÏÛ ¥>Ξw
Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shoffat: 11)
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. Al-Mu’minun: 12-14)
Dalam ayat-ayat di atas jelas lah bahwa terlihat bahwa Allah menciptakan manusia tidak sekaligus, melainkan secara bertahap, mulai dari saripati tanah, nuthfah, darah’ daging, akhirnya menjadi manusia yang utuh secara fisik, setelah itu baru ditiupkan ruh.
Berdasarkan ayat di atas, timbul kesan tentenagtidak menyangkut penciptaan Adam selaku manusia pertama. Melainkan membicarakan penciptaan manusia setelahnya. Namun kesan tersebut tak perlu timbul jika kita memperhatikan surah Ali Imran ayat 59, berikut:
žcÎ) Ÿ@sVtB 4Ó|¤ŠÏã yZÏã «!$# È@sVyJx. tPyŠ#uä ( ¼çms)n=yz `ÏB 5>#tè? ¢OèO tA$s% ¼çms9 `ä. ãbqä3usù
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.
Berdasarkan ayat di atas maka jelaslah bahwa penciptaan Adam langsung dari tanah liat. Di dalalm kisah ayat tersebut juga tampak menegaskan asal usul Adam dengan Isa, yakni sama-sama berasal dari turab, meskipun melalui proses yang berbeda karena Isa mempunyai Ibu, sementara Adama tanpa Ibu dan Ayah. Oleh karena itu kita dapat berkata bahwa Adam memang tidak dikandung. Sedangkan Isa lahir melalui seorang Ibu yang bernama Maryam, meskipun tanpa pembuahan. Jadi ppenciptaan seluruh manusia, berdasarkan kepada ayat-ayat di atas adalah melalaui evolusi, termasuk penciptaan Adam sendiri. Evolusi tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama dan tahapan yang panjang, dan pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mencolok. Dengan demikian lahirlah mnusia yang berbeda makhluk sebelumnya, sebagaimana firman Allah Swt:
¢OèO... çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä
“Kemudian kami ciptakan diamenjadi makhluk lain yang berbeda dari makhluk sebelumnya.
Berkenaan dengan perubahan manusia dari msa ke masa, para ilmuan kontemporer lebih cenderung menggunakan teori “mutasi genetika” dalam memahami penciptaan manusia daripada teori yang dikemukakan oleh Darwin, yang berpendapat bahwa perubahan dari satu tingakat ketingkat yang lain diakibatkan oleh pengaruh lingkungan.
Teori “mutasi genetika”, mengisyarakatkan bahwa sebelum adam tercipta, bumi telah dihuni oleh makhluk yang menyerupai manusia, tetapi belum dianggap sebagai manusia. Kemudia Allah dengan firman-Nya (كن فيكن) maka diciptakanlah Adam, sebagai spesies baru yang berbeda dengan makhluk sebelumnya dalam berbagai hal, terutama kemampuan menalar.[20]
Adapun yang menjadi kelebihan dan kekurangan metode ini antara lain:
a.         Kelebihan metode tafsir maudhu’i
1)      Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
2)      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode  tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
3)      Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
4)      Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas[21]
b.         Kekurangan metode tafsir maudhu’i
1)      Memenggal ayat Al-Qur’an, maksudnya adalah misalnya dalam pengambilan satu kasus yang terdapat dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
2)      Membatasi pemahaman ayat, denga ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat akan menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut, akibatnya seorang mufassir hanya akan terikat oleh judul, apadahal tidak mustahil suatu ayat dapat dapat ditinjau dari berbagai macam aspek.[22]



BAB III
PENUTUP

Simpulan
Dari paparan pembahasan materi kami, maka dapat kami simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu tafsir adalah iilmu yang membahas tentang teknik atau cara penafsiran Al-Qur’ân berikut hal-hal yang berkaitan dengannya.
Mengebnai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu tafsir itu sendiri diawali dari zaman Nabi Muhammad Saw, sahabat, tabi’in, tabi at tabi’in hingga sampai zaman ulama kontemporer saat ini.
Dalam melakuka penafsiran Al-Qur’an setiap mufassir dituntut ataupun diwajibkan untuk menguasai berbagai macam cabang ilmu, tentunya yang mendukungnya dalam hal melakukan penafsiran.
Begitupula dengan metode penafsirannya, kita kenal dengan metode ijmali, tahlili, muqarin, dan maudhu’i, yang mana setiap dari metode tersebut mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dan ciri khas dalam penafsiran Al-Qur’an.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsman, Muhammad bin Shalih, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Ddarus Sunnah Press, 2008.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Pennafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009.
Kholis, Nur, Pengantar Studi Aal-Qur’an dan Al-Hadits, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Rodiah, dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010.




[1] Muhammad bin Shalih Al-Utsmani, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. 57.
[2] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), h. 11.
[3] Ibid., h. 12.
[4] Ibid., h. 15.
[5] Ibid., h. 26.
[6]Ibid., h. 28.
[7]Ibid., h. 30.
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 1.
[9] Rodiah, dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2010), h. 6.
[10] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 17.
[11] Rodiah, dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep,Op. Cit., h. 5.
[12]Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), h. 144.
[13] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 49.
[14]Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, Op. Cit., h. 151.
[15] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Op. Cit.,h. 106.
[16] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 98.
[17] Ibid., h. 100.
[18] Ibid., h. 151.
[19] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, Op. Cit., h. 155.
[20] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 160.
[22] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 168.

No comments:

Post a Comment