BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Bekakang
Al Qur’an yang dalam
memori kolektif umat Islam sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya
sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala
sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas
yang luput dari penjelasannya. Sedemikian penting perannya sebagai petunjuk
bagi seluruh umat manusia “hudan linnas” maka setiap kita dituntut untuk
selalu berpedoman padanya di manapun dan kapanpun.
Mengarah kepada pamahaman
nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an, itu membutuhkan ilmu yang mendalam
yang dikenal dengan “ilmu tafsir”. Karena dalam ilmu tersebut dijelaskan
syarat dan tata cara ataupun metode penafsiran Al-Qur’an yang dibenarkan.
Tentunya yangbertujuan untuk memahami dan mendalami isi pokok kandungan yang
banyak sekali terkandung di dalam Al-Qur’an.
Oleh karena itu, kami dari
kelompok I akan mencoba mengurai materi yang berjudul: “ILMU TAFSIR AL-QUR’AN”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan ilmu tafsir itu?
2.
Bagaiman
sejarah dan perkembangan ilmu tafsir?
3.
Apa saja yang
menjadi syarat-syarat seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an?
4.
Metode apa
saja yang digunakan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an?
BAB
II
PEMBAHASAN
ILMU
TAFSIR AL-QUR’AN
A.
Pengertian
Ilmu Tafsir Al-Qur’an
Secara bahas tafsir berasla
dari kata “al-fasru” yaitu menyingkap sesuatu yang ditutup. Dan secara
istilah tafsir adalah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an. [1]
Sedangkan ilmu tafsir
Al-Qur’ân adalah ilmu yang membahas tentang teknik atau cara penafsiran Al-Qur’ân
berikut hal-hal yang berkaitan dengannya.[2]
Ilmu tafsir merupakan kunci
utama untuk bisa memahami Al-Qur’ân dengan benar dan baik. Karena tanpa ilmu
tafsir, pemahaman makna tekstualitas dan kontekstualitas Al-Qur’ân tidak
mungkin bisa dikembangkan, dan sosialisasi publikasi pengamalan Al-Qur’ân tidak
akan berjalan lancar. Jadi, ilmu tafsir memiliki fungsi yang sangat penting dan
strategis dalam upaya memahami Al-Qur’ân yang dengan itu terciptalam masyarakat
yang ideal sesuai dengan petunjuk Al-Qur’ân.[3]
B.
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Tafsir Al-Qur’ân
Muhammad Husayn al-Dzahabi
memilah sejarah tafsir kedalam tiga periode, yaitu:[4]
1.
Periode
Nabi Muhammad Saw
Tugas-tugas penyampaian (tabligh),
penghafalan (tahfidz), pembacaan (tilawah) dan penafsiran Al-Qur’an
yang ditetapkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. itu dapat kita lihat dari ayat
berikut:
$pkr'¯»t ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& øs9Î) `ÏB y7Îi/¢ (
bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4
ª!$#ur ßJÅÁ÷èt z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3
¨bÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$#
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 67).
Jelas bahwa ayat di atas
memerintahkan Nabi Muhammad Saw. supaya menyampaikan, membaca, menghapal, dan
menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah melaksanakan
tugas-tugas Allah tersebut dengan prima dan berhasil, baik sebagai pembaca dan
penghapal Al-Qur’an maupun sebagai penyampai risalah dan penjelas Al-Qur’an.
Lebih dari itu, beliau juga menyelesaikan seluruh tugas sucinya uuntuk
mengamalkan dan mempraktekkan ajaran-ajran Al-Qur’an selama kurang lebih 23
tahun (610-632 M).
2.
Periode
Mutaqaddimin
Periode ini meliputi masa
sahababt, tabi’in dan tabi’ al tabi’in. Dari kalangan sahabat setidaknya
terdapat sekitar sepluluh orang mufassir yang sangat terkenal, yaitu: Abu Bakar
al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas’un, Zaid bin Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin
Zubair, dan Abdullah bin Abbas.
Dari kalangan al-khulafa’
ar-rasyidin, Ali bin Abi Thalib lah yang dikenal paling banyak menafsirkan
AlQur’an, sedangkan tiga yang lainnya terutama Abu Bakar, selain Umar dan
Utsaman relatif tidak banyak terlibat secara aktif dalam kegiatan penafsiran
Al-Qur’an. Ketidak aktifan mereka terjadi karena Utsman, Umar, dan Abu Bakar
yang secara berturut-turut terlibat langsung dengan kegiatan dunia politik
praktis sehubungan dengan jabatannya sebagai kapala negara. Sedangkan faktor
yang menyebabkan Ali bin Abi Thalib lebih banyak melakukan penafsiran Al-Qur’an
dibandingkan tiga khalifah lainnya adalah karena Ali telah memeluk Islam sejak
masa kanak-kanak. Jadi, berbeda dengan ketiga sahabat lainnya, terutama Abu
Bakar yang memeluk Islam setelah usia dewasa, bahkan usia yang relatif tua.
Tidak sama dengan para
kalifah di atas yang sebagian besar waktunya habis tersita untuk pelayanan
masyarakat, para sahabat lain yang termasuk dalam sepuluh mufasir awal itu, terutama Ibn Abbas yang mendapat gelar tarjuman Al-Qur’an (juru
bicara Al-Qur’an), habar al-ummat (sumber ilmu umat), syaikh
al-mufassirin (guru besar mufassira), dan pernah mendapat do’a khusus dari
Rasulullah Saw. dalam hal penakwilan Al-Qur’an, memiliki banyak waktu dan
kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegitan penafsiran Al-Qur’an.
Namun, bukan berarti bahwa sahabat lainnya di luar Ibn Abbas tidak memeiliki
andil besar bagi pengembangan penafsiran Al-Qur’an. Para besar lainnya,
terutama Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan
Abdullah bin Zubair juga banyak terlibat akktif dengan aktivitas penafsiran
Al-Qur’an.
Seiring sejalan dengan
aktivitas mereka, para sahhabat lainnya pun turut serta dalam upaya
pengembangan penafsiran Al-Qur’an, antara lain, Anas bin Malaik, Abu Hurairah,
Abdullah bin Umar, termasuk Aisyah r.a.
Sayangnya dibandingkan dengan sahabat yang sudah kami sebutkan di awal, para sahabat
yang disebutkan terakhir tidak berkonsentrasi secara penuh kepada penafsiran
Al-Qur’an karena keahlian sahabat tersebut kebanyakan bukan ahli tadsir.
Misalnya Abu Hurairah, lebih populer dibidang hadits, sednagkan Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Ubaidillah Amr bin al-Ash lebih menonjol dalam bidang ilmu
fikih. Begitupun, Aisyah ra. lebih akrab dengan dunia hukum halal-haram (fikih)
khusunya ilmu dalam bidang faraid (warisan).
Berbeda dengan masa sahabat
di atas, pada masa generasi sahabat kecil dan tabi’tabi’in, tokoh-tokoh Islam
tersebar luas diberbagai kota Islam. Disetiap kota Islam terkemuka seperti
Madinah, Makkah, Kuffah dan Irak terdapat sejumlah mufassir ternama.
Sesudah generasi tabi’in, tafir
Al-Qur’an dikembangkan oleh generasi tabi’ at-tabi’in yang oleh Ahmad
Musthhafa al-Maraghi disebut sebagai periode penghimpun tafsir sahabat dan tabi,in.
3.
Periode
Muta’akhkhirin
Ekspansi Islam yang dilakukan
secara agresif dan mobilitas yang sangat tinggi ke berbagai daerah jazirah Arab
dan luar Arab pada masa-masa tabi.in dan tabi’ at tabi’in, semakin
memperluas dan mengembangkan wilayah Islam. Perluawasan agama dan pergaulan
umat Islam dengan dunia luar pun turut mempengaruhi kompleksitas permaslahan
yang dihadapi oleh umat Islam. Apalagi, banayak juga di antara mereka yang
kemudian memeluk Islam.
Seiring dengan semakin
luasnya daerah yang dikuasai oleh Islam dan penyebaran Islam pun dilakukan ke
selururuh daerah wilayah di berbagai penjuru benua, perbedaan kebudayaan Islam
pun semakin mengalami kemajuan, termasuk ilmu tafsir. Dalam upaya menafsirkan
Al-Qur’an, para ahli tafsir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau
hanya menghafal riwayat dari sahabat, tabi’in, dan tabi’ at tabi’in seperti
yang diwariskan selama ini, tetapi mereka mulai berorientasi pada penafsiran
Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmu bahasa dan penelaran ilmiah. Dalam
kalaimat lain, tafsir Al-Qur’an pada periode ini tidak hanaya mengandalkan
kekeuatan tafsir bil matsur yang telah lama mereka warisi, tetapi juga
berupaya keras mengembangkan tafsir bi al dirayah dengan segala macam
implikasinya. Karena itu, tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan sedemikian
rupa dengan penitik beratan pada pembahasan aspek-aspek tertentu sesuai dengan
tendensi dan kecendrungan kelompok mufassir itu sendiri.
4.
Periode
Kontemporer
Periode dimulai dari akhir
abad 19 hingga saat ini. Sudah sekian lama pemeluk agama Islam mengalamai
penindasan dan penjajahan oleh bangsa barat yang notabene adalah kaum
imperelaise kolonis. Kini, sebagain negara, baik di benua Asia maupun Afrika, yang berpenduduk mayoritas muslim
mulai bangkit dari keterpurukan dan penderitaan mental.
Untuk menghadapi kebobrokan
mental itu, berbagai tokoh dan pejuang muslim berupaya keras untuk melakukan
perbaikan, kemudian munculah tokoh-tokoh Islam semisal Jamal al-Din al-Afghani
(1838-1897 M), Syekh Muhammad Abduh (1894-1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935 M). Ketiga tokoh tersebut menjadi penggerak perubahan dan gerakan
pefifikasi terhadap nilai-nilai Islam di Mesir. Dua orang yang disebutkan
terakhir, berhasilkan melahirkan tafsir Al-Qur’an yang hingga saat ini
disegani, yakni Tafsir al-Manar. Kesungguhan tafsir ini diakui oleh
banyak orang dan memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu tafsir,
baik bagi kitab tafsir Al-Qur’an yang semasanya maupun kitab tafsir yang terbit
pada masa-masa sesudahnya.
Sedangkan ulama tafsir yang
ada di Indonesia diantaranya adalah Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981 M). Yang
berhasil melahirkan Tafsir al-Azhar, Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddiqiey
(1904-1975 M) dengan karyanya Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan,
Prof. Dr. Mahmud Yunus (1899-1982 M), dan saat ini kita mamsih memiliki seorang
penafsir kontemporer yakni Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Pemikiran beliau bisa
ditelusiri lewat karyanya yang sangat familiar yakni Tafsir al-Misbah.[5]
C.
Syarat-syarat
Mufassir Al-Qur’an
Terkait dengan penafsiran
Al-Quran, untuk dapat menafsirkan Al-Quran, setiap mufassir dituntut
untuk membekali diri dengan sejumlah cabang ilmu, sedikitnya ada cabang ilmu,
yaitu: bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu tashrif, ilmu isytiqaq
(morfologi), ilmu ma’ani, ilmu badi’, ilmu al-bayan, ilmu qira’at,
ilmu ushul ad-din (kalam atau teologi), ilmu ushul fiqh, ilmu asbab
an-nuzul dan al-qashasash, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu fiqh,
hadits an-nabawi, ilmu mauhibah.[6]
Berkaitan dengan ilmu yang
juga mutlak dimiliki oleh seorang mufassir, Syekh Muhammad Rasyid Ridha
meringkasnya sebagai berikut:
1.
Memahami
hakikat lafal-lafal kosakata (mufradat).
2.
Memahami
gaya bahasa (asalih) Al-Quran.
3.
Mengetahui
berbagai keadaan masyarakat (ilmu ahwal al-basyar) darai generasi ke
generasi, termasuk ilmu sejarah.
4.
Mengenali
secara persis kearah mana mufassir hendak membawa masyarakat dengan
Al-Quran itu.
5.
Mengausai
sejarah nabi dan sahabatnya, berikut teori atau konsep dan praktek yang mereka
terapkan tentang pengaturan kehidupan yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
Asy-Syatibi, berkesimpulan
bahwa Al-Quran itu diturunkan dengan bahasa Arab. Untuk itu, pemahaman
(penafsiran) harus memperhatikan sisi kebahasaan yang spesifik ini sebagaimana
firman Allah Swt. Dalam surat Yusuf ayat 2:[7]
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès?
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
D.
Metode
Tafsir Al-Qur’an
Kata metode berasal dari
bahas Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa
Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut
mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. [8]
Pengertian metode yang umum
itu dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikirian
maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan
metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang
telah diteteapkan. Dalam hal ini, maka studi tafsir Al-Qur’an tidak terlepas
dari metode.
Jika kita telusuri
perkembangan studi tafsir Al-Qur’an dari dulu sampai sekarang, akan ditemukan
bahwa terdapat empat metode yaitu:
1.
Metode
Ijmali
Metode ijmali ialah
penafsiran Al-Qur’an dengan secara singkat dan global, tanpa urain yang panjang
dan lebar.[9]
Apapun bentuk suatu metode,
ia tetap merupakn buah hasil tangan manusia, yakni tidak terlepas dari yang
nama kekurangan dan kelebihan. Maka adapau kelebihan dan kekurangan metode ini
adalah sebagai berikut:
a.
Kelebihan
metode ijmali
1)
Praktis
dan mudah dipahami
2)
Bebas
dari penafsiran israiliat
3)
Akrab
dengan bahasa Al-Qur’an
b.
Kekurangan
metode ijmali
1)
Menjadikan
petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial
2)
Tak
ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Contoh Metode Ijmamli,
diantaranya adalah pada potongan surah al-Baqarah berikut:
($O!9# ) اللهُ أعلم بمراده بذالك (y7Ï9ºs ) أى هذا (Ü=»tGÅ6ø9$# ) الذى يقرؤه محمد (w |=÷u ) شكَّ (¡ ÏmÏù )¡
أنّه من عندالله وجملة النّفي خبر مبتدؤه ذالك
والإشارة به للتّعظيم (Wèd ) خبرثان أى هادٍ (z`É)FßJù=Ïj9 ) الصّائرين إلى التّقوى بامتثال الأوامروجتناب النّواهى
لاتّقائهم بذالك النّارَ.
Penafsiran yang diberikan oleh Al-Jalalain terhadap dua ayat
pertama dari al-Baqarah di atas tampak kepada kita sangat singkat dan
global sehingga tidak ditemui rinncian
atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang ( الم ) misalnya dia hanya
berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian pula ( الكاب ) hanya dikatakan: Yang
dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehngga
penafsiran ayat diatas hanaya beberapa baris saja.[10]
2.
Metode Tafsir Tahlili
Metode tafsir tahlili adalah upaya menafsirkan Al-Qur’an
dengan cara mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat
demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf Usmani.[11]
Dari bentuknya maetode tafsir tahlili dibagi kedalam dua
pembagaian, yaitu:[12]
a.
Tafsir bil mat’sur, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
Al-Qur’an dengan sunnah, Al-Qur’an dengan pendapat sahabat Nabi Saw, dan
Al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, contoh kitab-kitab tafsir bil matsur antara
lain: Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (30 juz) karya Ibn Jarir
at-Thabrani (w. 310 H).
b.
Tafsir bir ra’yi,yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan cara ijtihad
terutama setelah seorang mufassir itu
betul-brtul mengetahui prihal bahasa Arab, asbab an-nuzul, nasikh dan
mansukh, dan hal-hal lain yang lazim diperlukan oleh seorang mufassir. Di
antara contoh kitab-kitab tafsir bir ra’yi adalah Mafatih al-Ghaib oleh
Fakhr ar-Razi (w. 691 H), tafsir al-Maraghi (10 jilid), tafsir
Thabari (15 jilid).
Contoh penafsiran dengan metode tahlili bir’ ra’yi, firman
Allah Swt. dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 115:
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.
)>ÌøópRùQ$#ur-Ìô±pRùQ$#!ur (Maksudnya timur dan barat dan seluruh
penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, Dia yang memiliki dan mengausainya (
(#q9uqè?$yJuZ÷r'sù)
maka kearah manapun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu menghadap kiblat,
sesuai dengan maksud firman Allah Swt.
فول
وجهك شطر المسجد الحرام حيثما كنتم فولو وجوهكم شطره niscaya (di sana ada Allah),
artinya di tempat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan
diperintahkan-Nya [kamu] untuk menghadap-Nya [di situ].
Maksud dari ayat ini adalah,
apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjid Haram Masjid Baitul Maqdis,
maka janganlah hawatir sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat
sembahyang bagimu. Artinya Dia ingin memberikan kelongggaran dan kemudahan
kepada hamba-hamba-Nya.
Ada yang berpendapat
kebolehan menghadap kearah mana saja itu adalah adalam berdo’a, bukan dalam
shalat.
Al-Hasan membaca ayat
tersebut ( (#q9uqè?$yJuZ÷r'sù)
dengan memberi harakat fathah pada hurup “تَ” sehingga bacaannya menjadi" #q9uq?" karena menurutnya kata
tersebut berasal dari (تَوَلِّى)yang
berarti “ke arah mana saja kamu menghadap kiblat”.[13]
Kelebihan dan kekuranga metode tafsir tahlili antara lain adalah
sebagai berikut:[14]
a.
Kelebihan metode tafsir tahlili, pertama: ruang
lingkup yang cukup luas, penfasiran dapat menggunakan bil mat’aut ataupun
ra’yi. Kedua memuat berbagai ide, dengan metode ini mufassir diberi
kesempatan untuk menuangkan berbagai macam idenya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.
Kekurangannya, pertama, Menjadikan
petunjuk Al-Qur’an parsial. Sehingga terasa seakan-akan Al-Qur’an memberikan
pedoman secara tidak komprehensip dan tidak konsisten karena menafsirkan yang
ddiberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Kedua,menghasilkan
penafsiran yang subyektif. Karena metode ini telah memberikan peuang yng cukup
luas kepada para mufassir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga
kadang-kadang mufassir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan Al-Qur’an secara
subyektif. Ketiga, masuknya pemikiran isra’iliyat.
3.
Metode Tafsir Muqaran
Metode tafsir muqaran adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
selintas tampak berlawanan dengan Hadits padahal sebenarnya sama sekali tidak bertentangan.[15]
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini:
y]s3yJsù uöxî 7Ïèt/ tA$s)sù àMÜymr& $yJÎ/ öNs9 ñÝÏtéB ¾ÏmÎ/ çGø¤Å_ur `ÏB ¥*t7y :*t6t^Î/ AûüÉ)t , ÎoTÎ) Ny`ur Zor&tøB$# öNßgà6Î=ôJs? ôMuÏ?ré&ur `ÏB Èe@à2 &äóÓx« $olm;ur î¸ötã ÒOÏàtã (النمل
: ٢٢–٢٣)
ôs)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×pt#uä (
Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJt 5A$yJÏ©ur (
(#qè=ä. `ÏB É-øÍh öNä3În/u (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4
×ot$ù#t/ ×pt6ÍhsÛ ;>uur Öqàÿxî ( السبأ : ١٥
)
مَا
أَفْلَحَ قَومٌ وَلَّوْا أمَرهُم امرأةً (رواه البخارى)
a.
Al-Qur’an
1) “Maka
tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah
mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang
wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar. (QS. An-Naml: 22-23)
2) “Sesungguhnya
bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
"Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
yang Maha Pengampun". (QS. Saba: 15)
b.
Hadis
“Tak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyyerahkan semua
urusan mereka kepada wanita (HR. Bukhari)
c.
Perbandingan antara ayat dengan hadits
Secara sepintas, kedua kedua teks ini tampak kontradiktif, karena
Al-Qur’an mengimpormasikan tentang keberhasilan seorang wanita yakni Ratu
Balqis dalam memimpin negrinya. Sebaliknya, di dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari itu dinyatakan, bahwa tidak akan sukses suatu bangsa jika yang
memimpin mereka adalah wanita.
d.
Perbandingan antara berbagai pendapat mufassir
Disinilah metode komparatif (muqaran) memiliki peranan yang
sangat penting. Untuk mengkompromikan kedua dalil di atas, yang pertama sekakli
dikaji secara kritis dan seksama ialah hadits, sebab keautentikan Al-Qur’an
sudah diyakini sepenuhnya (tidak diragukan lagi), sementara hadits masih perlu
di kaji dan diteliti, baik sanad maupun matannya, supaya didapatkan keyakinan
yang penuh tentang keshahihannya. Selain itu diperhatikan pula sebab munculnya
haditts tersebut.
Hadits di atas, menurut Mushttafa al-Siba’i, diucapkan nabi ketika
beliau mendapat informasi bahwa putri Raja Persia telah dinobatkan menjadi ratu
untuk menggantikan ayahnya yang telah mangkat.
Untuk lebih memperjelasnya, kita jangan terlalu terpengaruh kepada asbab
al-wurud hadits tersebut karena yang dijadikan tolak ukur dalam
mengambil keputusan (istinbath al-hukm) menurut mayoritas para ulama
ialah umum lafal, bukan khusus sebab.[16]
Berangkat dari kaidah di atas, kita dapat berkata, meskipun latar
belakang hadits itu muncul dari kasus naiknya wanita jadikepala negara Persia,
lafal yang dipakainya umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala
negara. Kata (قَومٌ)
dan (امرأةً) dalam hadits tersebut, misalnya adalah lafal nakirah (indefinite).
Itu berarti, lafal “kaum” dan “wanita” tersebut berkonotasi umum yaitu kaum dan
wanita mana saja, tidak tertentu hanya untuk orang Persia. Demikian pula kata
“amarahum” juga berkonotasi umum, tidak khusus tentang urusan pemerintahan ,
tapi mencakup semua urusan yang berhubungan dengan bangsa atau orang yang
dipimpin. Keumuman itu tampak dari pemakaian lafal tunggal (mufrad) “أمَر” yang diidhafahkan ke
lafal هم"”. Menurut kaidah ushul fiqh, kata tunggal bila diidahafahkan
kepada isim ma’rifat, maka ia mengandung konotasi umum.
Dengan demikian yang dimaksud Nabi pada hadits tersebut: “Suatu
bangsa tak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu
diserahkan [sepenuhnya kepada kebijakan] wanita sendiri [tanpa
melibatkan kaum pria]. Ialah jika semua urusan pemerintahan itu ditangani oleh
wanita sendiri, sehingga semua bidang atau bgian di dalamnya diurus oleh wanita
dan tidak ada laki-laki yang diikutsertakan dalam semua urusan tersebut, mulai
dari jabatan tertinggi ssampai terendah bahkan ssatpam dan tukang ssapu
ditangani oleh wanita sendiri. Jika demikian keadaannya, maka masuk akal sekali
jika mereka tidak akan beruntung karena mereka memiliki keterbatan-keterbatasan
manusiawi. Bik secara fisik maupin psikis.
Dengan menggunakan metode perbandingan, maka akan diketahui makna
yang dikandung oleh oleh teks tersebut dan terhindar dari pemahaman yang
kontradiktif.[17]
Adapaun yang menjadi kelebihan dan kekurangan metode taffsir ini
adalah
a.
Kelebihan
1)
Memberikan wawasan penafsiran yang relatif
lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode lainnya.
2)
Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran
terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita
dan tak mustail terdapat kontardiktif.
3)
Mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat
dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
b.
Kekurangan
1)
Metode ini tidak baik untuk para pemula,
seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menenggah ke bawah.
2)
Metode ini kurang dapat diandalkan dalam
pemecahan masalah sosial yang tumbuh ditengah masyarakat.
3)
Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru.
4.
Metode Tematik (Maudhu’i)
Metode tematik atau maudu’i adalah metode tafsir yang membahas
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.[18]
Sedangkan menurut Ibn Taimiyah, tafsir maudhu’i adalah suatu
ilmu yang belum diketahui sebelumnya, kecuali zaman sekarang. Menurut sebagian
ulama, bahwa tafsir maudhu’i ialah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan satu tema tertentu kemudian menafsirkannya sesuai dengan
kaidah-kaidah penafsiran dean tujuan-tujuan Al-Qur’an.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik benang merahnya
bahwa tafsir maudhu’i lebih menonjolkan tema, judul, atau topik
pembahasan sehingga ada yang menyebutnya sebagai metode tofikal. [19]
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut berkenaan dengan
ayat-ayat tentang prnciptaan manusia
öNÍkÉJøÿtFó$$sù ôMèdr& x©r& $¸)ù=yz Pr& ô`¨B !$uZø)n=yz 4 $¯RÎ) Nßg»oYø)n=s{ `ÏiB &ûüÏÛ ¥>Îw
Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka
yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?"
Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shoffat: 11)
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4
x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. Al-Mu’minun: 12-14)
Dalam ayat-ayat di atas jelas lah bahwa terlihat bahwa Allah
menciptakan manusia tidak sekaligus, melainkan secara bertahap, mulai dari
saripati tanah, nuthfah, darah’ daging, akhirnya menjadi manusia yang utuh
secara fisik, setelah itu baru ditiupkan ruh.
Berdasarkan ayat di atas, timbul kesan tentenagtidak menyangkut
penciptaan Adam selaku manusia pertama. Melainkan membicarakan penciptaan
manusia setelahnya. Namun kesan tersebut tak perlu timbul jika kita
memperhatikan surah Ali Imran ayat 59, berikut:
cÎ) @sVtB 4Ó|¤Ïã yZÏã «!$# È@sVyJx. tPy#uä ( ¼çms)n=yz `ÏB 5>#tè? ¢OèO tA$s% ¼çms9 `ä. ãbqä3usù
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman
kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.
Berdasarkan ayat di atas maka jelaslah bahwa penciptaan Adam
langsung dari tanah liat. Di dalalm kisah ayat tersebut juga tampak menegaskan
asal usul Adam dengan Isa, yakni sama-sama berasal dari turab, meskipun
melalui proses yang berbeda karena Isa mempunyai Ibu, sementara Adama tanpa Ibu
dan Ayah. Oleh karena itu kita dapat berkata bahwa Adam memang tidak dikandung.
Sedangkan Isa lahir melalui seorang Ibu yang bernama Maryam, meskipun tanpa
pembuahan. Jadi ppenciptaan seluruh manusia, berdasarkan kepada ayat-ayat di
atas adalah melalaui evolusi, termasuk penciptaan Adam sendiri. Evolusi
tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama dan tahapan yang
panjang, dan pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mencolok. Dengan
demikian lahirlah mnusia yang berbeda makhluk sebelumnya, sebagaimana firman
Allah Swt:
¢OèO... çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä
“Kemudian kami ciptakan diamenjadi makhluk lain yang berbeda dari
makhluk sebelumnya.
Berkenaan dengan perubahan manusia dari msa ke masa, para ilmuan kontemporer
lebih cenderung menggunakan teori “mutasi genetika” dalam memahami penciptaan
manusia daripada teori yang dikemukakan oleh Darwin, yang berpendapat bahwa
perubahan dari satu tingakat ketingkat yang lain diakibatkan oleh pengaruh
lingkungan.
Teori “mutasi genetika”, mengisyarakatkan bahwa sebelum adam
tercipta, bumi telah dihuni oleh makhluk yang menyerupai manusia, tetapi belum
dianggap sebagai manusia. Kemudia Allah dengan firman-Nya (كن فيكن) maka diciptakanlah
Adam, sebagai spesies baru yang berbeda dengan makhluk sebelumnya dalam
berbagai hal, terutama kemampuan menalar.[20]
Adapun yang menjadi kelebihan dan kekurangan metode ini antara
lain:
a.
Kelebihan metode tafsir maudhu’i
1) Menjawab
tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode
penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini
diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
2) Praktis
dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan
sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
3) Dinamis:
Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan
zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya
bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini
pada semua lapisan dan starata sosial.
4) Membuat
pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas,
maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam
ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode
tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih
baik dan tuntas[21]
b.
Kekurangan metode tafsir maudhu’i
1) Memenggal
ayat Al-Qur’an, maksudnya adalah misalnya dalam pengambilan satu kasus yang
terdapat dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang
berbeda.
2) Membatasi
pemahaman ayat, denga ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat
akan menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut, akibatnya
seorang mufassir hanya akan terikat oleh judul, apadahal tidak mustahil suatu
ayat dapat dapat ditinjau dari berbagai macam aspek.[22]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari paparan pembahasan
materi kami, maka dapat kami simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu tafsir
adalah iilmu yang membahas tentang teknik atau cara penafsiran Al-Qur’ân
berikut hal-hal yang berkaitan dengannya.
Mengebnai
sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu tafsir itu sendiri diawali dari zaman
Nabi Muhammad Saw, sahabat, tabi’in, tabi at tabi’in hingga sampai zaman ulama
kontemporer saat ini.
Dalam
melakuka penafsiran Al-Qur’an setiap mufassir dituntut ataupun diwajibkan untuk
menguasai berbagai macam cabang ilmu, tentunya yang mendukungnya dalam hal
melakukan penafsiran.
Begitupula
dengan metode penafsirannya, kita kenal dengan metode ijmali, tahlili,
muqarin, dan maudhu’i, yang mana setiap dari metode tersebut
mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dan ciri khas dalam penafsiran
Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsman,
Muhammad bin Shalih, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Ddarus Sunnah
Press, 2008.
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Pennafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
Izzan, Ahmad, Metodologi
Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009.
Kholis, Nur, Pengantar
Studi Aal-Qur’an dan Al-Hadits, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Rodiah, dkk, Studi
Al-Qur’an Metode dan Konsep, Yogyakarta: Sukses Offset, 2010.
[1]
Muhammad bin Shalih Al-Utsmani, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2008), h. 57.
[2]
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), h. 11.
[3]
Ibid., h. 12.
[4]
Ibid., h. 15.
[5]
Ibid., h. 26.
[8]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 1.
[9]
Rodiah, dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep, (Yogyakarta: Sukses
Offset, 2010), h. 6.
[10]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 17.
[11]
Rodiah, dkk, Studi Al-Qur’an Metode dan Konsep,Op. Cit., h. 5.
[12]Nur
Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Sukses Offset,
2008), h. 144.
[13]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 49.
[14]Nur
Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, Op. Cit., h. 151.
[15]
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Op. Cit.,h. 106.
[16]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 98.
[17]
Ibid., h. 100.
[18]
Ibid., h. 151.
[19]
Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, Op. Cit., h. 155.
[20]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 160.
[21]http://fauzicahdemak.wordpress.com/2013/05/02/makalah-tafsir-maudhuibab-1pendahuluan-latar-belakang-berbicara-tentang-tafsir-maudhui/,
diakses pada tanggal, 23 Maret 2014.
[22]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Op. Cit., h. 168.
No comments:
Post a Comment